Contoh Alih Kode dan Campur Kode dalam Pembelajaran dapat dipahami dengan mempelajari pengertian alih kode dan campur kode terlebih dahulu. Alih
kode adalah peristiwa pergantian bahasa dari ragam santai menjadi ragam resmi,
atau juga ragam resmi ke ragam santai (Chaer dan Agustina, 2010: 107). Appel
mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena
berubahnya situasi. Hymes menyatakan alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa,
tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam
satu bahasa. Masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya
menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung
mendukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan
konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan
pemakaian bahasa karena perubahan situasi.
Penyebab alih kode
menurut Fishman
1. Pembicara
atau penutur
2. Pendengar
atau lawan tutur
3. Perubahan
situasi dengan hadirnya orang ketiga
4. Perubahan
dari formal ke informal atau sebaliknya
5. Perubahan
topik pembicaraan
Suwito (1985) membagi
alih kode menjadi dua, yaitu
1. Alih kode ekstern, bila alih bahasa,
seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan
2. Alih kode intern, bila alih kode berupa
alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
Analisis
Alih Kode Pada Interaksi Guru dan Siswa dalam Pembelajaran
1. Sebelum
pembelajaran Bahasa Jawa dimulai, anak-anak kelas VC bersama teman-temannya bercanda
dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko.
Namun setelah guru masuk ke dalam kelas, dipimpin oleh ketua kelas siswa berdoa
menggunakan Bahasa Indonesia. Kondisi tersebut menunjukkan adanya alih kode
karena siswa menyesuaikan diri dari situasi nonformal ke formal.
2. Guru
menggunakan kalimat dalam bahasa Jawa sebagai pembuka pembelajaran. “Sugeng
enjing, cah …. Piye kabare dina iki? Wis padha nggarap PR to?”. Namun karena
siswa terkesan kurang memberikan respon, maka guru menekankan sapaan
menggunakan bahasa Indonesia. “Anak-anak, PRnya sudah dikerjakan atau belum?”.
Situasi tersebut menunjukkan adanya alih kode berupa berubahnya bahasa yang
digunakan oleh penutur karena mitra tutur yang diajak berkomunikasi kurang paham
informasi yang hendak disampaikan.
3. Ketika
menyampaikan materi tentang penulisan komponen-komponen yang terdapat dalam
tulisan narasi nonfiksi, guru menggunakan bahasa Jawa baku. Namun ketika
dipertengahan pembelajaran guru mulai lengah dan menggunakan dialek bahasa Jawa
ala Semarangan sehingga terjadi alih kode dari pokok pembicaraan yang bersifat
formal dengan ragam baku ke arah gaya bicara tidak serius dan bersifat
informal. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh emosional baik penutur maupun
mitra tutur.
4. Untuk
menghidupkan suasana, guru meminta salah seorang siswa untuk berdiri di depan
teman-temannya. Siswa diminta untuk menyanyikan lagu tentang unsure-unsur
cerita yang liriknya sudah dipersiapkan oleh guru. Pada lirik lagu tersebut
telah terjadi perubahan alih ragam dari formal menjadi santai.
Sedangkan
“Campur kode” adalah penggunaan dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu
masyarakat tutur dengan kondisi ada sebuah kode utama atau kode dasar yang
digunakan dan memiliki fungsi dan keotomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat
dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa fungsi keotomiannya
sebagai sebuah kode (Chaer dan Agustina, 2010: 107).
Ciri
campur kode:
1. Ketika
seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa
2. Tidak
terjadi pengalihan seluruh klausa
3. Terjadi
pencampuran serpihan kata, frase, dan klausa suatu bahasa di dalam bahasa lain
yang digunakan
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Campur
kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli
dengan segala variasinya
2. Campur
kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Latar
belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
a.
sikap (attitudinal type)
latar belakang sikap penutur
b.
kebahasaan(linguistik type)
latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada
alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk
menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya
hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa
wujud campur kode,
a. penyisipan
kata,
b. menyisipan
frasa,
c. penyisipan
klausa,
d. penyisipan
ungkapan atau idiom, dan
e. penyisipan
bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing)
Analisis
Campur Kode Pada Interaksi Guru dan Siswa dalam Pembelajaran
1.
Ketika berdoa dan memberikan sapaan
hormat kepada guru, siswa mengatakan
“Oh My God, please
increase my knowledge. Good morning Mom … Selamat pagi Bu … Sugeng enjing Bu
…”. Pemilihan klausa dalam kalimat doa di atas memperlihatkan adanya campur
kode. Siswa mencampurkan berbagai ragam bahasa untuk tujuan yang sama.
2.
Untuk membangkitkan motivasi belajar
guru mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa sehingga terjadi campur
kode. Penutur sengaja mencampur kode terhadap mitra bahasa karena mempunyai
maksud dan tujuan tertentu. Salah satu tujuan yang dimaksud adalah untuk menjaga
kesantaian dalam berkomunikasi.
Contoh: Ayo ndang digarap, santai wae ora usah
kesusu
3.
Karena beberapa mitra tutur kurang
mengetahui makna kata dalam bahasa Jawa, guru mencampur bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa untuk memperkuat pemahaman siswa. Sebagai contoh:
“Salah
sawijining unsur kang kalebu ana karangan narasi yaiku papan. Papan kuwi
terbagi menjadi dua yaiku papan wektu lan panggonan. Waktu dan tempat.”
4.
Sebagai bahasa penghubung dalam
pembelajaran guru seringkali menggunakan kata paham untuk menanyakan tingkat kepahaman siswa.
“Piye cah, sampun paham
nopo dhereng?”
Jika dicermati, kata paham merupakan kata dalam bahasa
Indonesia yang disisipkan dalam kalimat ujaran guru.
Referensi
Chaer, Abdul dan Agustina, Leoni. 2011.
Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Posting Komentar