Oleh Hamidulloh Ibda, M.Pd
Direktur Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) Jateng
Karya intelektual guru selama ini “gengsinya” rendah.
Bahkan, karena bukan dosen yang memiliki tugas Tri Darma Peguruan Tinggi
(pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat), guru malu dan minder ketika
diajak penelitian. Ketika menulis dan meneliti, mental guru menciut, ketika
berhadapan dengan dosen yang bergelar magister, doktor dan profesor. Padahal,
sebagai entitas dan pelaku pendidikan, guru memiliki peran strategis dalam
penelitian dan penulisan karya ilmiah. Apalagi saat ini peluang meneliti,
menulis dan melakukan inovasi pendidikan terbuka lebar.
Tema Hari Guru Nasional (HGN) yang diperingati tanggal 25
November 2016 tahun kemarin, adalah “Guru
dan Tenaga Kependidikan Mulia Karena Karya”. Tema tersebut, menjadi harapan
bagi semua elemen, terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Berbicara karya guru, sudah pasti karya intelektual, bukan karya yang lain. Lalu,
sudahkah guru “mulia karena karya” mereka?
Karya guru tidak bisa sekadar “klaim ilmiah” saja bahwa guru
sudah “berkarya”. Pertanyaannya, karya guru itu yang seperti apa, berupa apa
dan berguna atau tidak? Sebab, karya guru harus realistis, sesuai filsafat ilmu,
berdasarkan dampak bagi pendidikan bahkan masyarakat umum. Sebab, saat ini guru
lebih disibukkan dengan administrasi sekolah, waktu untuk berkarya terkuras bahkan
tiada. Kesalahan tidak hanya masalah sistem dan tuntutan, namun juga skill,
kemauan dan “spirit berkarya” yang minim.
Kompetensi
Profesional
Kewajiban
berkarya, sudah diatur dalam Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)
sesuai Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya. Regulasi tersebut, dimaksudkan dalam rangka meningkatkan kompetensi
profesional, maka guru dituntut memenuhi PKB tersebut.
Regulasi
tersebut menjelaskan, PKB merupakan unsur utama yang kegiatannya diberikan
angka kredit untuk pengembangan karir guru. Tiga unsur utama itu meliputi
pendidikan, pembelajaran/pembimbingan dan tugas tambahan atau tugas lain yang
relevan. Permenpan RB Nomor 16 Tahun 2009 membagi PKB terdiri atas tiga
komponen, meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah dan karya inovatif.
Amanat
Permenpan RB substansinya sama dengan kewajiban dosen, yaitu melakukan penelitian
dan penulisan, baik itu berupa artikel ilmiah di jurnal, penelitian dan artikel
populer di media massa maupun majalah. Lalu mengapa spirit berkarya guru masih
rendah?
Husamah
(2010: 184) menyebut salah satu penyebab lemahnya kualitas dan intensitas guru
dalam menulis karya ilmiah adalah sikap humble
atau rendah diri. Nyali yang ciut itu, sebenarnya terbangun dari “ketidakmauan”
belajar dan cinta membaca, menulis dan meneliti. Spirit menulis yang rendah, tak
hanya masalah kemampuan dan kemauan, namun lebih pada “gengsi rendah” pada
guru. Padahal, jika guru rajin menulis, selain berdampak pada pengembangan
intelektual dan pemenuhan tuntutan, guru bisa “investasi ide” dan konsep untuk
pendidikan.
Gengsi Karya Guru
Tema HGN tahun ini seharusnya mengakar dan dimaknai sebagai
“kebangkitan” guru untuk berkarya. Sangat paradoks jika guru dikatakan “mulia
karena karya” jika sekadar “klaim ilmiah” dan ritus belaka. Oleh karena itu,
guru harus menjawab tantangan zaman globalisasi dengan karya intelektual. Ada
beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, membangun rasa percaya diri atau
“pede” pada guru. Problem utama menulis sebenarnya pada rasa takut dan malu,
bukan masalah kemampuan. Sebab, guru saat ini semuanya bergelar sarjana, bahkan
banyak yang sudah magister dan doktor.
Kedua, menyebarkan virus menulis pada guru. Sebab, saat ini
guru sudah “dijajah teknologi” dan nyaman berada di “zona aman” jika sudah
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka lebih menikmati dan betah ketika
bermain Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, Line, maupun Bigo Live yang
justru banyak unsur destrutktifnya daripada konstruktifnya.
Ketiga, guru perlu memahami kembali tugas, peran dan
fungsinya sesuai Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD). Sebab, selain UUGD, tugas dan kewajiban guru, sudah diatur juga Permenpan
RB bahwa mereka harus menulis, baik itu artikel ilmiah hasil penelitian dan
artikel populer. Apalagi, saat ini banyak media siap menampungnya. Contohkan
saja jurnal, dalam jurnal pendidikan, guru diberi porsi menyembangkan tulisan
selain dari unsur dosen, kepala sekolah dan praktisi.
Keempat, selain menulis di jurnal, majalah dan media massa,
intensitas menulis guru harus dibiasakan dengan mengikuti lomba intelektual.
Mulai dari lomba Penelitian Tindakan Kelas (PTK), Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI),
lomba penelitian ilmiah, seminar edukasi dan lainnya. Semakin rajin guru
mengikuti lomba, maka karya mereka akan memberikan kontribusi positif pada
pembangunan dunia keilmuan.
Kelima, gengsi karya guru harus menjadi spirit berkarya
dalam pembangun pendidikan. Jangan sampai peringatan HGN tahun ini hanya
formalistik simbolis dan hanya berhenti pada upacara dan lomba-lomba. Padahal,
hakikat HGN bukan sekadar kegiatan ritus saja, melainkan pemaknaan kembali atas
nilai-nilai keguruan dan kependidikan di negeri ini.
Salah satu topik HGN tahun ini, Kemendikbud akan membahas
topik “Membangun Budaya Literasi di
Satuan Pendidikan”. Artinya, melalui tema besar itu, tiap guru dari tingkat SD,
SMP dan SMA/SMK/MA harus berkarya. Maka, Kemendikbud yang bekerjasama dengan Guru Republik Indonesia (PGRI),
Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) dan Persatuan Guru Nahdatul Ulama
(Pergunu) harus bisa “menaikkan gengsi” karya intelektual dalam HGN 2016 ini.
Guru mulia karena
karya jangan sampai bias. Sebab, tanpa perayaan Hari Guru pun, guru akan tetap
mulia jika sudah berkarya. Jika tidak mampu berkarya, apakah pantas guru
disebut mulia?
Posting Komentar