Oleh Ika Silfiana
A.Kh, S.Pd., M. Pd
Penulis adalah Dosen
Universitas Ngudi Waluyo Ungaran, Semarang
Di Indonesia, penggabungan sekolah bukanlah fenomena baru. Contohnya,
pada tahun 2010 sebanyak 30 sekolah dasar (SD) negeri di lingkungan Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pendidikan Semarang Barat digabung menjadi 13
sekolah. Penggabungan itu memperkecil jumlah SD di Semarang Barat.
Kalau awalnya terdapat 46 SD, dengan regrouping kini menjadi 29 SD. Adapun syarat merger menurut
ketentuan dalam undang-undang nomor 17 tahun 2010, sekolah dapat
dimerjer bila sudah tidak memenuhi syarat untuk tetap berdiri sendiri.
Misalnya, tidak memiliki ruang, seperti ruang kelas, guru, dan usaha
kesehatan sekolah (UKS).
Selain itu, mengacu pada PP No. 78 Tahun 2010 disebutkan
bahwa dalam 1 rombel harus terdapat minimal 20 siswa, atau 120 siswa tiap
sekolah. Demi meningkatkan
efisiensi manajemen, beberapa sekolah terpaksa harus di-merger dengan sekolah yang lain.
SD yang dilihat memiliki aset potensial, baik dari segi sumberdaya manusia
(SDM) maupun non SDM, sudah seharusnya dipertahankan. Sementara sebaliknya, SD
yang minim aset, pihak sekolah yang bersangkutan seharusnya menerima alternatif
untuk dimerger.
Tingkatkan Kualitas
Merger sekolah memang diperlukan untuk meningkatkan kualitas
sekolah. Sehingga orangtua yang ingin memasukkan putra-putrinya ke sekolah, merasa
yakin akan pelayanan yang diberikan oleh sekolah. Dengan merger sekolah, juga
meminimalisir rebutan siswa yang biasa terjadi saat penerimaan peserta didik
baru.
Setidaknya dengan merger membuat sekolah yang tadinya
memiliki luas terbatas sehingga tidak bisa berkembang terutama dalam hal
pembangunan, bisa semakin maju. Bahkan, ada satu lokasi yang memiliki empat
gedung sekolah. Saat penerimaan peserta didik baru, ini kerap kali menyebabkan
rebutan siswa. Selain itu, penumpukan siswa di sekolah-sekolah juga masih
dijumpai dibeberapa sekolah. Bahkan masih terdapat SD yang menerapkan sistem
belajar masuk pagi dan masuk siang.
Distribusi sekolah-sekolah gemuk ini seharusnya disebar ke
sekolah yang sepi. Penggabungan sekolah atau regrouping berarti mengalami suatu perubahan dalam hal fisik dan
non fisik agar bisa dipertahankan. Salah satu sasaran manajemen perubahan
adalah mengupayakan agar proses transformasi tersebut itu berlangsung dalam
waktu yang relatif cepat dengan kesulitan-kesulitan seminimal mungkin.
Konsep dasar penggabungan sekolah (regrouping) yang
dikeluarkan oleh menteri dalam negeri tentang pedoman pelaksanaan penggabungan sekolah
(regrouping) sekolah dasar (SD) yaitu: (1) Penggabungan (regrouping)
SD adalah usaha penyatuan dua unit SD atau lebih menjadi satu kelembagaan
(institusi) SD dan diselenggarakan dalam satu pengelolaan; (2) Lingkup
penggabungan SD meliputi SD yang terdapat antar desa/kelurahan yang sama dan
atau di desa/kelurahan yang berbatasan dan atau antar kecamatan yang
berbatasan; (3) Sekolah Dasar kemudian disingkat dengan SD adalah bentuk satuan
pendidikan dasar milik pemerintah yang menyelenggarakan program pendidikan enam
tahun; (4) SD inti adalah SD yang terpilih antara beberapa SD dalam satu gugus
sekolah yang berfungsi sebagai pusat pengembangan di dalam gugus SD tersebut;
(5) SD imbas adalah anggota satu gugus sekolah yang menjadi binaan SD inti; (6)
SD kecil adalah SD di daerah terpencil yang belum memenuhi syarat pembakuan. Pada
kenyataannya, untuk merger memang tidak mudah karena ada prosedurnya.
Proses merger yang tidaklah
mudah ini, karena menyangkut administrasi, manajemen, inventaris sampai mutasi.
Terkait administrasi sendiri yang harus diusulkan ke pusat meliputi NIS (Nomor
Induk Siswa) baru, NISN (Nomor Induk Sekolah Nasional), dan NPSN (Nomor Pokok
Siswa Nasional). Demikian pula dalam hal manajemen, apakah terjadi kurang guru,
atau malah lebih. Oleh karena itu, keberanian pemerintah untuk mengambil
kebijakan sangat diharapkan. (*)
Posting Komentar