Ilustrasi |
Oleh Firdaus Ahmadi
Redaksi Pelaksana
Jurnal Sekolah Tinggi Teknologi dan Sekolah
Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan Banten
Selama ini kita mengetahui begitu luasnya tugas dan tanggung
jawab Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang mencakup pendidikan dari anak usia dini, SD, SMP, SMA
hingga Mahasiswa S1,S1,S3. Semua tidak terlepas dari amanat UUD 45 Pasal
31tentang Pendidikan dan Kebudayaan dan UU Sisdiknas, pasal (10) yang
menjelaskan,”Pemerintah dan pemerintah daerah mengarahkan, membimbing,
membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Namun bukan tanpa masalah, kita lihat akhir – akhir ini,
ujian akhir nasional SD, SMP dan SMA/SMK yang dilaksanakan, penuh dengan
permasalahan - permasalahan di tiap tahunnya, belum lagi masalah MOS (Masa
Orintasi Sekolah/Perkuliahan) yang terkadang berujung ke pihak polisi, juga
masalah kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang terkadang juga menjadi
kontovresi diantara pemerhati pendidikan, juga dialami di tiap tahunnya.
Belum lagi masalah – masalah di Perguruan Tinggi. Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal ini
Dirjen Pendidikan Tinggi harus menghadapi
masalah yang tidak kalah rumit, seperti: kelas jauh yang dilarang,
status double antara Dosen dan guru, konflik internal antara Yayasan dengan
struktural, kuliah sabtu-minggu yang juga dilarang, yang kesemuanya bisa
merugikan kepentingan civitas akademik, dan tergambar dalam surat Dirjen Dikti
nomor 1207/E.E2/HM/2013 tertanggal 26 November 2013 tentang PTS Ilegal.
Sementara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan
dua dasar undang – undang sebagai dasar hukum melakukan segala aktifitasnya selain UUD 45 Pasal 31,
yaitu: undang – undang Sisdiknas dan undang – undang Pendidikan Tinggi. Kedua
UU itu telihat justru memisahkan kementerian menjadi dua kementerian, mengingat
fungsinya yang hampir beda, juga agar mereka lebih fokus dalam hal menjaga
kwalitas pendidikan pertingkat pendidikan.
Didalam Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan
Menengah, budaya dan pendidikan memang harus diajarkan sedini mungkin kepada
masyarakat terutama pada anak usia dini, dasar dan menengah. UU Sisdiknas,
pasal (4), menegaskan: butir (3): “Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu
proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat”, (5):“Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,
menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat”.
Sedangkan dalam UU Pendidikan Tinggi pasal 1, butir 2, sudah
menegaskan, “Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister,
program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia”,
Namun, UU Pendidikan Tinggi pasal (1), butir 2), juga
menegaskan, “Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut Tridharma
adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”, dan Peraturan Pemerintah Nomor
60 Tahun 1999, dalam Bab, Penyelegaraan Pendidikan Tinggi, menjelaskan, Pasal (3) butir 3).” Penelitian
merupakan kegiatan telaah taat kaidah dalam upaya untuk menemukan kebenaran dan/atau
menyelesaikan masalah dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian”. Sejalan dengan itu
juga, Pasal (2), butir 1). Bab, Tujuan
pendidikan tinggi adalah: “a. menyiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik dan/atau profesional yang dapat
menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan,
teknologi dan/atau kesenian”.
Memang dalam pendidikan tinggi sesuai Tridharma Perguruan
Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat ) masyarakat harus lebih memiliki kemampuan dan
professional yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau
kesenian agar bisa dipakai dan berguna bagi masyarakat. Gabungan Kementrian
Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi bisa membawa kearah situ, berdasarkan
tujuan pendidikan tinggi dan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang tertuang
dalam peraturan pemerintah No 60 Th
1999.
Tanpa menghilangkan makna UU No. 18 2002 tentang
Sisnaslitbang (sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi) dan Peraturan Bersama antara Menteri
Negara Riset dan Teknologi dan Menteri Dalam Negeri, Nomor: 03 tahun 2012
nomor: 36 tahun 2012 , dengan UU Pendidikan Tinggi dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 1999, terlihat tidak perbedaan malah saling melengkapi, dan
pemisahan kementerian ini lebih fokus untuk memperbaiki sistem pendidikan kita
yang lebih luas.
Dalam bidang pendanaan, kita lihat sudah bukan masalah lagi,
sesuai amanat konstitusi bahwa 20% dari APBN adalah untuk pendidikan, Bahkan
dalam UU Sisdiknas sudah menegaskan tentang 20 % anggaran ABPN, Pasal 49 UU
Sisdiknas, pasal (1),” Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah”. Dan diperkuat dengan fatwa Mahkamah Konstitusi
tentang Penjelasan pasal 49 pasal 1 UU Sisdiknas, maka Pemerintah dan DPR sejak
tahun 2006 sudah harus mengalokasikan 20% dari APBN untuk membiayai pendidikan.
Dalam persfektif
global, penjelasan ini mungkin bisa dijadikan refleksi keadaan
kementrian kita dengan kementriaan di negara tetangga lainnya. Contohnya: Malaysia yang mempunyai Kementerian Pendidikan
yang menggambungkan semua tingkat pendidikan walaupun pernah memisahkan
pendidikan dasar, menengah dengan pendidikan tingginya namun sekarang sudah
mempersatukan lagi Sementara pemerintah
Singapura (Kementerian Pendidikan), Vietnam (Kementerian Pendidikan dan
Pelatihan) dan Thailand (Kementerian Pendidikan) mereka mempersatukan
semua tingkat pendidikan, dalam satu
Kementerian mungkin karena mereka tidak mengalami masalah – masalah seperti
yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia, seperti yang sudah
digambarkan.
Simpulan yang bisa diambil adalah: 1). Sepertinya dahulu
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mempunyai dua undang – undang sebagai dasar hukum melakukan segala aktifitasnya, selain UUD 45 Pasal
31seperti yang diamanatkan, yaitu:UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi dan
Peraturan - Peraturan yang ada dibawahnya. 2). Kedua UU telihat justru
memisahkan kementerian menjadi dua kementerian, mengingat fungsinya memang
hampir beda. UU Sisdiknas hanya berbicara tentang Pendidikan Tinggi secara
garis besar. 3). Dengan pemisahan
menjadi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menjadi Kementerian Kebudayaan, Dasar dan Menengah dengan
Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi tetap menggunakan UU Sisdiknas kecuali
Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi, ditambah UU Pendidikan Tinggi dan UU
No. 18 2002 tentang Sisnaslitbang dan Peraturan - Peraturan yang ada
dibawahnya. 4). Pembagian menjadi dua kementerian tidak lepas dari usaha
membagi tugas dan wewenang agar tidak hanya fokus di satu kementerian untuk
mengurusi masalah pendidikan yang begitu luas dan rumit. (*)
Posting Komentar