Oleh Firdaus Ahmadi
Radaktur
Pelaksana Jurnal Sekolah Tinggi
Teknologi dan Sekolah Tinggi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Banten
Sebagai
bentuk rasa syukur dan merayakan kemenangan di Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal
1438 Hijriah) dilakukan tradisi bola udara yang dilakukan warga, terutama di
wilayah Jawa Tengah di sekitar Kabupaten Wonosobo. Penerbangan balon udara itu
adalah suatu kearifan lokal yang baik dan terjadi sejak dahulu yang bertujuan
untuk mempererat persaudaraan dan memeriahkan Idul Fitri. Zaman dulu balon
udara diterbangkan dengan dipanaskan menggunakan bahan bakar dalam drum.
Belakangan, bahan bakar diganti dengan tabung gas, yang ikut mengudara. Dan ini
yang paling berbahaya. Balon udara
menjadi berbahaya apabila terbang hingga ketinggian pesawat terbang, apalagi
jika balon udara melayang di jalur penerbangan yang padat..
Direktur
Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Agus Santoso, mengungkapkan
balon udara yang terbang pada level ketinggian di bawah jalur penerbangan
pesawat komersil masih terhitung aman. Menurut
Wisnu Direktur AirNav, "Ada dua pilihan untuk mengatasinya. Pertama
dengan ditali, dengan demikian terkendali pada ketinggian tertentu. Jangkarnya
ada di darat," ujar Kedua adalah seperti zaman dulu, jadi balon itu
dipanaskan di bawah saja, kemudian setelah itu dilepas, tanpa pemanasnya ikut terbang,"
ucapnya. Dan tahun ini juga sama. Tim dari AirNav Indonesia terjun ke wilayah
Wonosobo dan sebagainya untuk memberikan sosialisasi tentang bahayanya, Syarat
lain dari penerbangan balon terbang ini adalah berjarak sedikitnya 15 km dari
kawasan bandara. Menurut AirNav, aturan penggunaan balon udara terdapat dalam
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 09 Tahun 2009 tentang CASR Part 101. Aturan
ini mengatur tentang pengoperasian balon yang ditambatkan, layang-layang, roket
tanpa awak, dan balon udara tanpa awak. Balon udara tradisional yang
diterbangkan di Jawa Tengah dapat dikategorikan balon udara tanpa awak. Dan
seseorang dilarang mengoperasikan balon tanpa awak kecuali mendapat izin dari
ATC, itu pun dengan ketinggian di bawah 2.000 kaki serta berada di dalam batas
sisi ruang udara kelas B, kelas C, kelas D, atau kelas E di sekitar bandar
udara.
Kearifan
lokal seperti ini juga terjadi di
Kabupaten Garut dinamakan ngapunkeun balon atau menerbangkan balon. Tiga hari
sebelum Lebaran datang, mereka membuat balon udara berukuran raksasa dari bahan
kertas bening atau warga Panawuan menyebutnya kertas endog. Kertas-kertas
tersebut direkatkan menggunakan remeh yang berarti sisa-sisa nasi. Balon
raksasa tersebut diterbangkan di lapangan terbuka sekitar kampung setelah salat
sunat Idul Fitri dilaksanakan. Namun balon itu terbang setelah sebelumnya
diberi udara dari hasil pembakaran jerami yang dibakar di bawah tungku yang
terbuat dari tanah bukan dari gas, mungkin terlihat lebih aman. Kearifan lokal
dalam bentuk penerbangan balon bertujuan mulia, yaitu, ingin mempersatukan
warga setempat terutama pada hari lebaran.
Ke
depan nanti akan dipadukan bentuk kearifan lokal semacam festival balon udara.
dan ngapungkeun balon yang akan menjadi salah satu kegiatan wisata, namun harus
di tentukan ketinggian, tempatnya, dengan kualifikasi tertentu agar tidak
mengganggu dan berbahaya khususnya bagi penerbangan dan masyarakat. Jadi ini
akan diwujudkan dalam bentuk kegiatan yang sesuai dengan aturan, tidak
mengganggu kearifan lokal, tidak membahayakan masyarakat dan keamanan
penerbangan atau kegiatan lainnya. Apabila dikelola dengan baik, tradisi ini
bisa mendatangkan pemasukan dari turis. (*)
Posting Komentar