Oleh: Lilik Puji Rahayu, S.Pd., M.Pd.
Penulis adalah Guru SD Supriyadi Semarang
“Ketika saya duduk di bangku SD sampai SMA, jika saya
membuat kesalahan, keributan, pasti dijewer guru. Bahkan tak jarang pula guru
menyentilkan tuding (penggaris dari
bambu) ke badan saya. Teman-teman lain pun mengalami hal yang sama. Dengan
hukuman dari guru yang seperti itu, saya merasa takut menjadi anak yang bodoh,
saya takut untuk tidak belajar, saya takut menjadi anak yang tidak disiplin,
saya takut menjadi anak yang tidak jujur, saya takut menjadi anak yang tidak
menghormati guru. Dan, dari rasa ketakutan yang diberikan oleh sang guru, kini saya pun menjadi seorang
guru. Saya selalu berkaca dari guru-guru saya. Beliau lah sosok panutan
kemuliaan dari semua profesi”. Ini lah seklumit curahan hati penulis, yang
mungkin mewakili sebagian besar kids jaman
old.
Walaupun telah mendapat perlakuan sakit secara fisik
dan itu hanya sesaat, tapi hubungan murid dengan guru, hubungan orang tua
dengan guru tetaplah harmonis. Pada waktu dulu belum ada Undang-Undang Perlindungan
Anak, tidak pernah pemberitaan berakhir tragis, guru dihukum, kabar guru
diciduk polisi, guru dijeblos ke penjara, guru dipukul orang tua siswa, bahkan
guru dianiaya muridnya sendiri hanya karena guru menegurnya. Seperti yang baru
baru ini terjadi di Sampang, Madura, seorang guru meninggal setelah dianiaya muridnya
yang tak terima ditegur dan dicoret pipinya oleh sang guru. Sungguh sakit hati
ini, gemetar badan ini. Lagi, seolah tak ada habisnya penyiksaan terhadap guru.
Satu-satu
pergi, satu-satu hilang.
Demikianlah pesan “guru BUDI” yang menjadi korban pemukulan hingga akhirnya
meninggal dunia akibat ulah muridnya yang duduk di kelas XI di sebuah SMA
Negeri di Sampang, Madura. Postingan
terakhir di akun IG abc_isme (Achmad
Budi Cahyono), lirik ‘Sendja Djiwa’ seolah menjlentrehkan
tentang krisis moralitas murid terhadap gurunya. Satu per satu sikap hormat
terhadap guru telah pergi. Satu per satu sopan santun terhadap guru telah
hilang. Satu per satu rasa segan terhadap guru pergi lalu hilang.
Pada saat sekarang ini, perilaku dan tindakan murid terhadap
guru semakin memprihatinkan. Hampir tidak ada lagi siswa yang berjalan dengan
merundukkan badan di depan gurunya, tidak ada lagi murid yang segan dan hormat
kepada gurunya. Bahkan pada saat berlangsungnya proses kegiatan belajar
mengajar murid tak segan-segan melawan gurunya, mulai dari perkataan sampai
pukulan, MIRIS!!.
Jaman modern kini, murid berpikir secara instan, bahwa
dirinya adalah sosok yang akan selalu mendapat perlindungan dan terbebas dari
kesalahan apalagi hukuman. Bertindak semaunya sendiri tanpa memperhatikan
dengan siapa dia berbicara dan bertindak.
Mungkinkah, dari imbas Undang-Undang
perlindungan anak menjadikan murid semakin brutal, arogan dan radikal terhadap
gurunya?
Kita tahu, bahwa guru pasti memberikan pendidikan yang
terbaik walaupun terkadang perlu jeweran, cubitan dan sentilan dari guru.
Dengan adanya UU perlindungan anak tentunya sangat mempengaruhi dunia
pendidikan karena dalam undang-undang, anak tidak boleh dipukul dan disakiti. Sering
kita amati, murid sekarang tidak segan-segan merokok di depan gurunya sendiri
bahkan ada yang berkendara melewati guru yang sedang berjalan kaki tidak
berhenti menyapa, terlebih memberi tumpangan kepada gurunya.
Apa Penyebabnya?
Sikap murid-murid dahulu dengan sekarang amat jauh berbeda
bagai “langit dan bumi”. Dewasa ini, boleh dikatakan hampir kebanyakan murid kurang
menghormati guru-guru di sekolah apalagi di luar sekolah, saat bertemu sang
guru.
Berikut ini, menjadi penting untuk kita bersama-sama kembali
peduli dan renungkan. Pertama, Orang tua murid itu sendiri. Pada jaman dahulu orang tua murid
begitu akrab hubungannya dengan guru-guru. Mereka sentiasa bertegur sapa saat
bertemu, orang tua sangat menghormati guru, bahkan tak jarang, hanya sekedar
berkirim “salam” untuk guru yang dititipkan melalui anaknya. Sekarang di jaman serba modern ini, keadaan
seperti ini tidak berwujud lagi. Dahulu orang tua murid senantiasa menempatkan
guru berada di pihak yang benar jika guru menghukum anaknya, karena orang tua
menyadari guru pasti memberikan pendidikan terbaik, tidak mungkin guru memberi
hukuman jika muridnya tidak melakukan kesalahan.
Pada masa sekarang, sebaliknya, guru yang selalu disalahkan,
jika guru menghukum murid dengan jeweran atau cubitan. Bagi orang tua, mereka
menutup rapat mata dan telinga mereka dan lebih berpihak kepada anak-anak serta
menyalahkan guru.
Kedua, Faktor perkembangan IT. Dahulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu
jika dibandingkan jaman modern yang serba canggih ini. Sekarang, murid bisa mendapat ilmu dari pelbagai sumber
seperti dari TV, berbagai media cetak dan terbaru sekali ialah melalui
internet. Murid menjadi merasa sok tahu
dan lebih tau dari gurunya. Jika ini menjadi satu dari penyebabnya, kita sebagai
guru harus semakin aktif di dalam mengakses ilmu pengetahuan dan berita terbaru.
Ketiga, Kedudukan guru yang semakin goyah di masyarakat. Pada masa dahulu
guru adalah profesi yang amat dihormati di masyarakat. Jika ada suatu acara di daerah
misalnya, gurulah yang memainkan
peran utama. Guru-guru jaman dahulu akan duduk di barisan berdampingan dengan jabatan
penting di daerah itu. Keadaan sekarang sudah berubah. Pada masa ini posisi telah
diambil alih oleh elit politik yang berkepentingan hingga artis.
Pekerjaan guru adalah satu pekerjaan yang mulia, yang
sekarang ini dipandang sebelah mata. Undang-Undang perlindungan anak seolah
menjadi senjata murid yang minim etika terhadap gurunya. Menjadi bahan evaluasi
bagi pemerintah seharusnya, sebagai pihak yang berwenang atas muatan yang
dibuat. Kedudukan guru di berbagai lapisan keluarga hingga masyarakat perlu
dipulihkan. Cara-cara ini menjadi solusi yang dapat memberikan kesadaran kepada
murid-murid agar kembali menghormati gurunya. Satu-satu pergi, satu-satu hilang, semoga tidak ada lagi ‘guru
budi’ yang pergi dan hilang. (hg8)
Posting Komentar