Oleh Lilik Puji Rahayu, S.Pd., M.Pd.
Penulis merupakan guru SD Supriyadi Semarang
Masih ingatkah dibenak kita dengan
permainan-permainan tradisonal yang dulu digandrungi oleh banyak anak-anak pada
masanya. Seperti permainan petak umpet, jamuran, cublak-cubak suweng,
gasing, engklek, sundamanda, dakon, dul-dulan, blentik dan lain sebagainya.
Permainan tempo dulu itu sekarang sudah jarang didengar oleh telinga anak-anak zaman
sekarang yang lebih senang menghabiskan waktunya di depan layar komputer atau
di depan smartphone.
Anak-anak sekarang lebih senang
bermain playstation atau menonton
televisi dibandingkan melakukan dolanan (permainan) anak. Bahkan beberapa
dolanan telah hilang karena tidak pernah lagi dimainkan oleh anak-anak zaman
sekarang. Sayang sekali jika permainan tradisonal itu semakin hari
semakin menghilang dan sudah tidak dikenal lagi oleh anak dan di lingkungan
masyarakat. Padahal, berbagai dolanan anak
mengandung nilai moral dan edukasi seperti sikap bergotong royong, kreatif dan
belajar bekerja sama yang tidak terdapat dalam budaya permainan modern, yang
cenderung mengedepankan nilai individualis, kepraktisan, dan keuntungan
komersial semata.
Sebagai contoh adalah dolanan cublak-cublak suweng mengingatkan agar
kita bersikap santun atau yo prakonco
yang mengingatkan akan pentingnya kerukunan. Tapi di zaman yang praktis
dan efisien saat ini lebih memanfaatkan kecanggihan teknologi yang berkembang
pesat. Bahkan anak-anak yang masih berusia dini sudah banyak diperkenalkan
dengan permainan-permainan yang canggih sehinnga dapat mengubah pola pikirnya
menjadi lebih konsumtif. Banyaknya berbagai macam permainan dengan teknologi
visual dan lebih praktis menjadikan pemikiran mereka hanya tertuju pada dunia
visual bukan dunia nyata yang ada di sekelilingnya.
Apa Penyebabnya?
Banyak hal yang menjadi faktor
semakin menghilangnya permainan tradisional saat ini, sehingga tidak semeriah
dan semarak seperti waktu itu. Seperti perkembangan pola pikir orang tua yang
mengarah pada hal yang praktis. Permainan yang beredar saat ini bisa
dinikmati dengan mudah di Internet Game Online, Gadged, HP, PlayStation, dan
lain sebagainya. Sehingga menjadikan anak kurang menenemukan artinya
kreativitas, kebersamaan, kekompakan dan hidup
di alam nyata. Sebenarnya
permainan modern boleh diberikan dengan batasan-batasan tertentu. Jangan hanya
karena orang tua yang sibuk menjadi alasan untuk memberikan anak permainan yang
instant tapi tidak berdampak memberikan suatu permainan yang menstimulus
perkembangan sosialnya.
Teknologi memang menawarkan kemudahan
dan hiburan dengan perkembangan begitu pesat. Saat ini masyarakat menengah atas
maupun masyarakat bawah mulai merasakan hal itu sebagai bagian dari hidupnya
dan seolah menjadi suatu kewajaran. Sementara produsen mainan terus mendominasi
pasar. Banyak toko, warung, pasar, bahkan di lapak-lapak khusus mainan mudah
ditemui mainan boneka, tembak-tembakan, robot-robotan, mobil-mobilan, pesawat
terbang, helikopter baik secara manual, menggunakan batu baterai sampai mainan
otomatis yang menggunakan remote control. Anak siapa yang tak tertarik dengan
mainan model begitu. Selain itu semakin menipisnya lahan bermain anak yang ada,
sehingga mempengaruhi persediaan tempat untuk melakukan permainan yang dulu
menjadi trend itu.
Kemajuan zaman telah ‘menelan’ satu masa. Anak-anak tak punya
banyak waktu lagi untuk bermain semacam dulu, lahan untuk bermain pun juga
makin berkurang. Jangankan lagu dolanan, lagu anak-anak pun rasanya sangat
asing bagi anak-anak zaman sekarang. Anak-anak zaman sekarang akan lebih mudah
menghafal lagu-lagu cinta, lagu-lagu patah hati, lagu-lagu dewasa yang
sebenarnya mereka sendiri belum tahu maknanya, dan belum masanya bagi mereka.
Jangankan anak-anak, orang tua pun tak banyak yang paham lagu dolanan dan lagu
anak-anak, dan tak jarang orang tua yang merasa bangga mendengar anak-anak
mereka bernyanyi lagu cinta, lagu patah hati, lagunya orang dewasa, hingga
begitu bangganya ketika anak-anak mereka bisa menyanyikan lagu dengan bahasa
inggris, tapi tidak bisa nembang jawa
dan ini (menurut saya) adalah sebuah ironis.
Pengenalan Ulang
Untuk itu diperlukan upaya
revitalisasi guna melestarikan berbagai dolanan anak tersebut, seperti
pengenalan ulang berbagai jenis dolanan di sekolah melalui media yang menarik. Selain
itu, berbagai kegiatan seperti lomba dan festival harus sering diadakan agar anak
tidak melupakan budaya tradisional mereka.
Dalam hal ini orang tua sebagai pendidik pertama di lingkungan
keluarga harus memberikan permainan yang sesuai dengan perkembangan usia dan
psikologisnya. Seperti permainan tradisional yang mampu memacu kecerdasan,
bukan hanya intelegence saja namun
juga melatih kecerdasan emosi dan kecerdasan sosial anak tanpa harus
mengabaikan teknologi yang terus berkembang. Sehingga dalam zaman yang
berkembang ini permainan tradisional dapat terus dilestarikan hingga generasi
yang akan datang dapat mengetahui bahwa budaya permainan tradisional tidak akan
hilang tertelan oleh zaman yang terus berkembang. Bijaknya orangtua bisa memilih sebuah hiburan yang murah meriah, tetapi
bisa mengasah apresiasi anak terhadap beragam kekayaan seni dan budaya
adiluhung yang perlu dilestarikan dan diugemi
bersama.
Selain itu pemerintah juga harus memberikan kurikulum
pendidikan terkait permainan tradisional yang terintegrasi dengan pembelajaran,
agar ciri khas suatu bangsa dalam daerah dapat terjaga ciri khas kewarisannya
sampai kapanpun.
Satu masa yang ‘tertelan’ zaman dan semakin terkikis oleh
kemajuan zaman serta pergeseran pola pikir. Tak perlu menyalahkan siapapun, semua
kembali pada diri masing-masing. Hanya saja tak semestinya zaman menghilangkan
satu masa (kanak-kanak), karena bagaimanapun juga setiap tahapan kehidupan
membutuhkan sebuah proses, hubungan sosial, komunikasi, interaksi dan butuh
dinamika dalam setiap masa. (*)
Posting Komentar