Oleh Lilik Puji Rahayu,
S.Pd., M.Pd
Penulis adalah
Guru SD Supriyadi Semarang
Pepatah lama
mengatakan, "mulutmu harimaumu". Sungguh, pepatah itu benar sekali.
Mulut adalah kunci keselamatan. Di mulutlah jaminan keselamatan seseorang
digantungkan.
Dari mulutlah
kerap kali masalah muncul dan timbul tenggelam. Tidak jarang mulut menjadi
sumber pertikaian. Bahkan, kata-kata bijak lama yang sangat masyhur mengatakan
bahwa manusia butuh waktu hanya dua tahun untuk belajar bicara, tetapi ia butuh
waktu seumur hidup untuk belajar diam. Artinya, pekerjaan mengendalikan mulut
adalah pekerjaan yang pembelajarannya ditempuh sepanjang hayat.
Bukan Ahok Lagi
Puisi berjudul
'Ibu Indonesia' karya Sukmawati Soekarnoputri yang dibacakannya dalam acara 29
Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018 menuai kontroversi. Banyak
yang berkomentar puisi yang dibuat putri Presiden pertama Indonesia, Soekarno
menghina agama Islam. Sangat tidak elok membandingkan antara cadar dengan konde
serta azan dengan kidung. Jika seseorang mengaku tidak mengetahui syariat namun
mengapa menghina syariat dalam puisinya. Tidak semestinya menghina yang
berjilbab atau berkonde atau bercadar. Bersikap menghargai dengan pilihan
masing-masing orang adalah langkah yang tepat.
Seharusnya Sukmawati belajar dari kasus Ahok tentang penistaan agama
yang telah menimbulkan kegaduhan luar biasa di masyarakat dan kasus tersebut
telah berkekuatan hukum tetap. Seorang figur masyarakat sudah seharusnya tidak
mengeluarkan perkataan-perkataan yang berbau SARA, kasar, kotor, dan cenderung
tidak mengindahkan etika. Figur yang baik adalah sosok yang bisa
mengelaboriskan kesantunan ucapan dengan perilaku dan perbuatan dalam
keseharian.
Syariat
Selama ini syariat telah mengalami distorsi makna akibat ketidaktahuan
publik. Syariat yang berarti aturan kehidupan yang berasal dari wahyu
didistorsi maknanya menjadi sekedar hukum Islam berupa hukum potong tangan,
rajam atau hukum cambuk. Tentu saja pemahaman seperti ini tidak bisa memberikan
gambaran utuh hakikat syariat itu sendiri.
Bukan hanya orang awam yang menjadi anti terhadap syariat, banyak kalangan muslim santri pun menolak, minimal tidak berani bicara penegakan syariat.
Syariat mempunyai peran strategis sebagai pedoman manusia menjalani
kehidupannya. Keberadaan syariat memberikan andil penting bagi manusia agar pola
hidup yang dijalaninya tetap dalam koridor Tauhid. Dengan tetap dalam koridor Tauhid,
peradaban yang dibangun manusia dapat berjalan secara seimbang, wajar dan tidak
menimbulkan problem kemanusian serius.
Sastra kok SARA?
Perkembangan sastra akhir-akhir ini mengalami kemajuan yang pesat.
Perubahan setiap genre sastra seiring dengan perkembangan pengetahuan manusia.
Setiap manusia yang melakoni situasi sosial hidupnya setiap hari selalu
melahirkan beragam jenis interpretasi terhadap kehadiran gejala sosial yang
ada. Entah secara kritis maupun solutif.
Kehadiran sastra merupakan suatu bentuk kajian halus terstruktur dan
sistematis dalam realitas sosial masyarakat. Karena itu, sastra tidak pernah
terpisah jauh dari kenyataan sosial masyarakat. Pada hakekatnya sastra lahir
membahasakan kenyataan hidup sosial manusia. Dunia sastra pada zaman ini bukan
lagi sesuatu yang sembunyi dari kehidupan sosial seperti pada masa penjajahan
Orde baru. Di mana, para penyair tidak memberikan kebebasan. Suara dibungkam,
kebebasan menulis dibatasi, apalagi bersikap kritis terhadap kebijakan
pemerintah. Sebetulnya karya sastra dijadikan tumpuan dasar pemahaman akan
keberadaan sosial masyarakat. Sastra hadir untuk mengungkapkan sesuatu yang tak
terungkapkan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Nampaknya pembuat sastra mulai merusak
syariat Tuhan dengan mencoba membolak-balik frasa. Dimana sastra dijadikan
ajang pertaruhan ideologi negeri ini. Jika tak paham dengan syariat, bukan
berarti malah kencang menelanjangkan kebodohan. Sastra, kok SARA?
Seharusnya sastra tak boleh
bawa-bawa suku, adat, ras dan agama. Sastra tak diperbolehkan keluar dari
jalurnya. Sastra itu bahasa kalbu, bukan frasa amarah. Sastra itu bahasa jiwa
dan bukan pertarungan agama. Bahasa sastra itu ramah, bukan kalimat provokasi.
Tidak dibenarkan sastra menyerang
agama dan keyakinan. Janganlah bersastra jika tak paham kode etik bersastra.
Tak perlulah mengetik naskah nan mengusik jika tak tau aturan berpuisi. Artinya,
sastra patut dibungkam jika mata pedangnya telah diasah untuk menyudutkan keyakinan
orang lain. Diam akan lebih elok, atau simpan saja energi untuk bersastra
dengan kebodohan. Jangan bangga berpuisi, tapi nyara!
Posting Komentar