![]() |
Ki Hadjar Dewantara. (Foto: National Geographic Indonesia). |
Oleh Lilik Puji Rahayu, S.Pd., M.Pd.
Penulis adalah Guru SD Supriyadi
Semarang, Alumni Pascasarjana UNNES
Tepat hari ini, Rabu 2 Mei 2018
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional atau sering dikenal Hardiknas.
Hardiknas adalah hari penghargaan, sosok
pahlawan nasional yang selalu kita kagumi dan banggakan, yaitu Ki Hadjar
Dewantara atau Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Dengan tekad dan usahanya
dalam perjuangan untuk menegakkan tiang pendidikan di nusantara ini, hingga
beliau dijuluki sebagai bapak pendidikan.
Pendidikan di negeri ini belum terlepas
dari berbagai persoalan. Permasalahan
dalam sebuah pendidikan tidak hanya menyangkut tentang pendidik dan peserta
didik. Akan tetapi juga menyangkut tentang bagaimana kurikulum dan pelaksanaannya,
bagaimana dengan guru dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar di kelas, dan juga
bagaimana dengan materi-materi yang diajarkan pada peserta didiknya. Hal yang
demikian tadi masih dalam ranah akademis sebuah pendidikan.
Jika dibandingkan dengan pendidikan yang dahulu,
prestasi akademik saat ini memang nampaknya jauh lebih baik dari pada
tahun-tahun sebelumnya, akan tetapi bagaimana dengan tingkah laku dan karakter
peserta didiknya? Inilah yang menjadi potret
buram dunia pendidikan saat ini. Perilaku peserta didik ini nyatanya tidak hanya
guru yang selalu mengawasinya, tetapi orang tua ikut andil dalam perbaikan
perilaku seorang anak.
Untuk Guru
dan Orang Tua
Bapak Ki Hajar Dewantara yang memperoleh
sebutan sebagai bapak pendidikan ini memiliki semboyan yang menjadi salah satu
kontribusi positif bagi pendidikan di Indonesia. Semboyan tersebut berbunyi “ing ngarso sung tulodho, ing madyo
mbangun karso, tut wuri handayani”.
Penjabaran dari semboyan tersebut adalah, (1) Ing
Ngarso Sung Tulodo: ketika menjadi pemimpin harus dapat memberikan suri
tauladan untuk semua orang yang ada disekitarnya. (2) Ing Madyo Mbangun Karso:
seseorang di tengah-tengah kesibukannya diharapkan dapat membangkitkan semangat.
(3) Tut Wuri Handayani: di belakang, seseorang diharapkan dapat memberikan
suatu dorongan moral dan semangat.
Tampaknya ilosofi itu bukan hanya berlaku pada guru
saja, tetapi juga berlaku untuk orang tua. Sebab orang tua memliki andil besar
dalam mendidik anaknya dengan ruang waktu yang cukup luas, dengan menciptakan
berbagai macam metode seperti menciptakan lingkungan belajar, meluangkan waktu
khusus untuk belajar, melakukan pendampingan belajar, dan lain-lain. Peran aktif
orang tua harus didukung oleh pola komunikasi pendekatan yang baik dengan anak,
hingga anak memiliki daya pandang berbeda antara suasana pendidikan di sekolah
dengan di rumah, melalui kemasan-kemasan yang berbeda pula tentunya.
Dalam melakukan metode pembelajaran di rumah, orang
tua harus meningkatkan kualitas diri mereka agar bisa memahami tugas yang
diberikan di sekolah atau guru, bahkan ada beberapa hal lain yang perlu
diperhatikan, yaitu membantu anak mengenali dirinya mengenali kelebihan dan
kelemahannya, membantu anak mengembangkan potensi sesuai bakat dan minatnya,
membantu meletakan pondasi yang kokoh untuk keberhasilan hidup anak dan
membantu anak merancang masa depannya.
Di sekolah, guru harus pandai dalam melakukan eksplorasi
metode yang melibatkan orang tua, dengan pemanfaatan media sosial atau
komunikasi yang secara intens dan langsung, agar tugas dan perilaku anak
didiknya bisa terkontrol, baik secara perkembangan nalar atau sikap yang
berdampak pada nilai-nilai kehidupan.
Tanggung jawab sebuah pendidikan tidak
terletak pada sebuah lembaga pendidikan saja, yang biasanya para orang tua
salah mengartikan sebuah pendidikan ketika mereka menyekolahkan anak-anak
mereka. Masih dijumpai orang tua siswa yang seperti ini, yang penting mereka
kerja cari uang untuk biaya anak sekolah tetapi luput pengawasan dalam
mendidiknya dalam keluarga. Sekedar memenuhi kebutuhan anak secara materiil
tetapi tidak ikut serta mengawasi dan membimbing perilaku dan akhlaknya. Wajar
saja jika anak sebagian besar tidak mampu mengubah perilakunya menjadi lebih
baik.
Hari Pendidikan Nasional tidak
seharusnya hanya diperingati dikalangan institusi pendidikan saja, melainkan
seluruh masyarakat bangsa ini, dijadikan bahan evaluasi pendidikan untuk ke
depannya. Dijadikan pelopor semangat mendidik, terdidik, berkependidikan di
kemudian hari.
Memperingati saja tidak cukup, bila
perlu ada perubahan pendidikan yang lebih maju dan lebih baik, dari akademis,
non akademis, bahkan dengan moral seorang peserta didik. Jika moral peserta
didik sejak dini baik, barang tentu akan mampu membawa perubahan yang lebih
baik pula untuk bangsa ini, mengingat mereka juga bagian dari generasi pemuda
bangsa Indonesia. Begitu pula dengan seorang pendidik, juga mampu membuat
perubahan-perubahan yang inovatif, yang dapat menjadi teladan bagi
siswa-siswanya maupun teman guru lainnya. Dan para orang orang tua juga
setidaknya tidak melulu pasrah semuanya mengenai pendidikan anaknya pada pihak
sekolah. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama demi masa depan bangsa yang
berkarakter gemilang. Selamat Hari Pendidikan Nasional 2018. (hg44).
Posting Komentar