Oleh Dwi Prabowo
Dosen Teknik Lingkungan Universitas
Surya
Besarnya
angka goput pada setiap penyelenggaraan pemilukada membuat pesismisme terhadap
pelaksanaan demokrasi akan mendatangkan kemaslahatan. Rendahnya tingkat
kesadaran politik masyarakat dianggap menjadi penyebab utama. Menarik jika
mencermatu angka golput dari penyelenggaraan pemilu yang pernah dilaksanaka di
Indonesia.
Angka golput justu cenderung semakin besar dari waktu ke waktu. Apa yang
terjadi dengan Negara demokrasi kita? Apakah demokrasi Indonesia tidak bermakna
lagi?. Masyarakat sudah tidak percaya demokrasi dapat membawa perubahan
Indonesia ke arah lebih baik?
Nada
sumbang pesimisme mewarnai demokrasi dari jaman Plato sampai hari ini. Plato
bahkan dengan terang-terangan mengatakan kebusukan demokrasi. Hingga saat ini
pun masih banyak orang melontarkan nada yang serupa.
Saat ini bagaimanapun juga
demokrasi adalah konsep utopia yang tidak akan pernah dapat tercapai. Utopia
demokrasi semakin nampak dalam bingkai negara demokrasi. Utopia demokrasi
justru akan semakin memudar dalam masyarakat majemuk yang abstrak. Yang ada
adalah heterotopia demokrasi.
Di
berbagai pilkada di Indonesia, angka rata-rata golput mencapai Lebih 40%.
Kegagalan Negara mengemban amanat warga negaranya dituding menjadi penyebab
tingginya tingkat apatisme masyarakat. Banyaknya elit pemerintah yang terlibat
dalam kasus korupsi juga dituding menjadi penyebab lainnya. Tetapi apakah benar
demikian yang menyebabkan tingginya angka golput di Indonesia.
Kita
harus melihat demokrasi dari sudut lain daripada hanya memperdebatkan jumlah
partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Demokrasi bagaimanapun juga tidak
bisa lepas dari sejarah perkembangan masyarakat dari awal peradaban hingga
masyarakat kita saat ini.
![]() |
Rappler.com |
Esensi demokrasi sudah ada sejak adanya kehidupan
manusia tetapi istilah demokrasi baru muncul pertama kali pada masyarakat
yunani kuno. Demokrasi dengan demikian adalah satu dari banyak istilah yang
ikut mengalir dalam derasnya kehidupan masyarakat.
Masyarakat Abstrak
Demokrasi
selalu mengandaikan adanya sebuah masyarakat tertutup dengan ruang wilayah yang
kongkret. Karl R. Popper (Dalam Masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya,1950)
mengatakan masyarakat tertutup paling baik diumpamakan sebuah organisme.
Manusia sebagai sebuah organisme dengan berbagai organ yang ada selalu menempati
ruang tubuh yang tetap dan kongkret. Tangan tidak mungkin menggatikan posisi
kepala dan sebaliknya kepala tidak mungkin menggantikan posisi kepala.
Sebuah
masyarakat tertutup yang mirip kesatuan unit di mana anggotanya disatukan oleh
ikatan biologis, kekeluargaan, dan kebersamaan hidup. Selain itu masyarakat
tertutup adalah kelompok kongkret yang terdiri dari individu-individu kongkret
dengan hubungan yang kongkret secara fisik. Di atas konsep organisme seperti
ini utopia demokrasi disandarkan. Namun sayangnya masyarakat yang benar-benar
kongkret seperti itu tidak pernah ada.
Pengandaian
adanya masyarakat tertutup dengan wilayah kongkret seperti itulah yang oleh
John Agnew (Human geography today, 1999:175) menyebabkan konsep negara
demokrasi terperosok dalam “jebakan wilayah teritorial”. Minimal ada tiga
anggapan modern yang menyebabkan konsep negara demokrasi masuk dalam jebakan
wilayah territorial.
Pertama,
kedaulatan negara menghendaki adanya wilayah teritorial dengan batas yang
kongkret dan jelas. kedua, ada sebuah
pemisahan secara mendasar antara urusan dalam negera (domestic) dan urusan di
luar negara (foreign). ketiga,
wilayah negara bertindak seolah-oleh sebagai wadah geografis dari masyarakat. Ketiga
anggapan tersebut menyebabkan munculnya utopia demokrasi yang hampir mustahil
terwujud dalam masyarakat global saat ini.
Utopia
demokrasi paling mungkin hanya dapat terjadi pada level keluarga atau kelompok
masyarakat dengan ikatan kekeluargaan yang kuat. Terdapat sebuah keintiman antara anggota kelompok. Meminjam
istilah Edwar W Soja (Dalam Postmetrpolis,2000:), Synekism adalah sebuah
kondisi yang muncul dari kehidupan bersama dalam kelompok dengan suasana
kekeluargaan. Kita bisa membayangkan kehidupan awal manusia di bumi adalah
synekism tahap pertama ditandai dengan identitas yang masih tunggal. Synekism
seperti ini masih kita jumpai pada level keluarga dengan ikatan darah sebagai
identitas utamanya.
Dengan
demikian synekism yang paling mungkin terwujudnya utopia demokrasi adalah pada
level keluarga. Pada level yang lebih luas adalah kelompok sosial dengan ikatan
kebersamaan yang kuat. Kelompok masyarakat yang berpindah-pindah adalah
synekism yang mendekati utopia demokrasi setelah level keluarga. Tahap
selanjutnya adalah kehidupan masyarakat dalam Negara kota pada masa Yunani kuno
dimana plato sangat mengutuk demokrasi.
Perkembangan
masyarakat dari awal hingga saat ini dengan demikian merupakan perkembangan
dari masyarakat tertutup menuju masyarakat terbuka. Namun masyarakat tertutup
itu masih ada. Berbagai kelompok (community) yang tidak bisa dibatasi wilayah
territorial. Demokrasi Negara dengan demikian adalah usaha untuk menyeragamkan
berbagai identitas komunitas ke dalam komunitas besar wilayah Negara. Sebuah
utopia dalam dunia global di mana batas territorial Negara semakin kabur oleh
teknologi informasi yang terus berkembang.
Globalisasi Demokrasi
Lalu
bagaimana dengan kondisi saat ini?. Saat ini kita hidup dalam sebuah masyarakat
terbuka di mana hubungan antar individu lebih dominan bersifat abstrak.
Masyarakat yang telah kehilangan karakteristik kelompok kongkretnya. Dalam
masyarakat abstrak, hubungan antar individu tidak didasarkan pada hubungan yang
kongkret secara fisik, kekeluargaan, dan kebersamaan. Sebuah kondisi masyarakat
yang semakin majemuk dalam lingkup global.
Sebuah
masyarakat abstrak yang tidak bisa lagi disatukan oleh wilayah territorial
apapun termasuk Negara. Yang ada bukan utopia demokrasi tetapi Heterotopia
Demokrasi. Demokrasi tidak hanya Pemilu tetapi demokrasi bisa AC Milan, Harry
Potter, The Beatles yang melampaui batas wilayah territorial apapun.
Demokrasi
macam ini yang lebih kongkret dalam arti tidak terikat wilayah territorial
tertentu. Semua penggemar AC Milan, Harry Popper, David Beckham dapat membentuk
sebuah perkumpulan dari seluruh penjuru dunia dalam identitas yang tunggal. Demokrasi
menjadi semakin majemuk dan demokrasi Negara hanya menjadi salah satu dari
heterotopia demokrasi.
Akhirnya
dalam heterotopia demokrasi seperti sekarang ini kita tidak seharusnya terlalu
menilai parameter demokrasi negara dengan tingkat partisipasi dalam pemilu. Heterotopia
demokrasi menunjukkan bahwa identitas kelompok telah berbaur dalam masyarakat
global yang tidak mengenal batas territorial apapun termasuk negara dan semua komponen
didalamnya. Demokrasi Negara tetap ada tetapi harus bersaing dengan
demokrasi-demokrasi lainnya macam AC Milan, Harry Potter, Piala Dunia dan
banyak lagi lainnya.
Dalam
kondisi yang demikian itu maka satu-satunya cara adalah menumbuhkan kembali
nilai-nilai persamaan senasib sepenanggunangan sebagai sebuah bangsa. Bangsa
yang didalamnya selalu ada keintiman layaknya sebuah ikatan dalam keluarga.
Dengan demikina aka nada kesadaran terhadap nasib masa depan bangsa pada
selembar kertas suara. Bukan sekedar dimaknai dengan angka-angka rupiah yang
menentukan kemauan untuk dating ke TPS.
(*)
Posting Komentar