Oleh Husna Nashihin
Kasus dekandensi moral yang terjadi saat ini kian
melejit. Bahkan, wabah dekandensi sudah merambah kalangan manusia dewasa yang
seharusnya menjadi panutan, seperti orang tua, pendidik, pejabat, sampai tokoh
agama.
Digitalisasi misalnya, mengakibatkan
pornografi, hoax, ujaran kebencian, penipuan, dan lain sebagainya semakin membabibuta
lewat media sosial. Mudahnya akses media sosial sebagai konsekuensi logis
digitalisasi berimplikasi pada tidak bisa dibendungnya dampak negatif yang
terjadi secara tuntas. Bayangkan saja, bagaimana bisa membatasi dampak negatif
yang muncul dari media sosial, jikalau media sosial memang memberikan mimbar
kebebasan akses bagi para pemakainya?
Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan besar, ada apa dengan pendidikan
karakter yang sudah berlangsung saat ini, sehingga belum mampu merubah manusia
menjadi pribadi yang lebih baik? Perlukah tambahan model
pendidikan karakter yang bisa berjalan beriringan dengan pendidikan karakter
pada sekolah formal? Agaknya guna mendukung pendidikan karakter pada sekolah
formal, memang perlu dikembangkan sebuah model pendidikan karakter dengan basis
tradisi atau kebudayaan masyarakat.
Ketika mencoba merefleksi tradisi masyarakat
Jawa, ada satu tradisi yang menarik dan optimis bisa menjadi basis
pendidikan karakter bagi masyarakat Indonesia. “Rekso Kadang” atau tradisi kumpul-kumpul
keluarga bagi masyarakat Jawa ini memiliki manfaat positif yang luar biasa yang
layak untuk dikaji secara mendalam.
Kearifan nenek moyang di Jawa dalam menjaga keluarganya dari segala
keburukan ini menimbulkan sebuah pertanyaan, mungkinkah budaya ini memang
sengaja diadakan oleh para nenek moyang di Jawa sebagai usaha membentengi
keturunannya agar senantiasa baik? Ataukah tradisi ini hanyalah
sebuah kebetulan belaka yang saat ini secara kebetulan juga sangat dibutuhkan
untuk bisa mengatasi dekandensi moral dan perpecahan yang kian melejit?
“Rekso Kadang” merupakan tradisi kumpul-kumpul bagi sekelompok keluarga
besar di Jawa yang awalnya diadakan hanya oleh keluarga kerajaan. Belakangan ahirnya
Rekso Kadang menjadi budaya yang dilakukan oleh hampir semua masyarakat Jawa. Secara
bahasa Rekso mengandung arti menjaga, sedangkan Kadang memiliki arti keluarga.
Rekso Kadang secara istilah memiliki arti acara perkumpulan yang bertujuan
mempererat tali silaturahmi keluarga.
Saat ini Rekso Kadang sudah berubah nama
sesuai dengan sentuhan masing-masing daerah yang melestarikannya. Akibat
sentuhan filosofi Jawa misalnya, Rekso Kadang berubah menjadi “Trah” yang
berarti hujan. Istilah trah biasa digunakan oleh mayoritas masyarakat Jawa saat
ini.
Di sisi lain, ada pula sentuhan
Arab atau Islam yang menjadikan Rekso Kadang berubah nama menjadi “Bani” atau
Dzuriyah”. Pada generasi kekinian, Rekso Kadang mengalami simplifikasi
nama menjadi kumpulan keluarga atau arisan keluarga. Bahkan, pada sebagian
keluarga modern, Rekso Kadang mengalami sentuhan istilah perkantoran menjadi
rapat keluarga atau meeting keluarga.
Terlepas dari berbagai istilah yang
berkembang, secara esensial Rekso Kadang tetap menjadi tradisi
masyarakat Jawa yang bertujuan merekatkan tali silaturahmi. Tradisi ini sampai
sekarang masih berkembang dan dipertahankan di beberapa daerah, seperti di
Yogyakarta, Klaten, Boyolali, Solo, Magetan, Wonogiri, Ponorogo, Magelang,
Temanggung, Wonosobo, Semarang, Kudus, Demak, Jepara, dan masih banyak kota
lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Rekso Kadang biasanya dilaksanakan pada hari
Minggu. Ada yang dilaksanakan sebulan sekali atau dua bulan sekali, ada pula
yang melaksanakan sesuai penghitungan Jawa (Pasaran Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing)
seperti selapan (35 hari) sekali atau dua lapan (70 hari) sekali, bahkan ada
juga yang setahun sekali atau dua kali.
Ada beberapa fakta unik yang berhasil terekam
dalam tradisi Rekso Kadang yang mampu menjadi basis pendidikan karakter. Pertama,
anggota Rekso Kadang yang terdiri dari berbagai suku dan daerah yang
berbeda-beda. Pernikahan keturunan anggota Rekso Kadang dengan keturunan dari
suku dan daerah lain menjadikan adanya anggota Rekso Kadang yang berbeda suku
dan daerah. Daerah dan suku yang berbeda tentunya juga melahirkan kepribadian
dan pemikiran yang berbeda pula. Realitas ini mampu membentuk karakter saling
menghargai dan toleransi.
Kedua, anggota Rekso
Kadang yang terdiri dari agama, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat
ekonomi yang berbeda-beda. Realitas ini mampu membentuk karakter saling
menghargai, peduli sosial, dan kerja sama. Agama yang berbeda tentunya mampu
membentuk karakter toleransi beragama antar anggota Rekso Kadang. Kepedulian
sosial tercermin dari sikap saling membantu ketika salah satu anggota Rekso
Kadang tertimpa musibah. Kerja sama antar anggota Rekso Kadang tercermin dari
sikap gotong royong ketika menyelenggarakan hajatan salah satu anggota Rekso
Kadang.
Ketiga, penyelenggaraan Rekso
Kadang yang diadakan secara bergiliran. Anggota Rekso Kadang yang mendapat
giliran ketempatan acara, harus mempersiapkan tempat dan konsumsi. Usaha
anggota Rekso Kadang dalam mempersiapkan acara tersebut dapat membentuk
karakter kerja keras dan tanggung jawab. Kerja keras dan tanggung jawab
tercermin dalam sikap sungguh-sungguh anggota rekso kadang dalam menyusun
perencanaan sampai pelaksanaan acara. Apalagi ketika anggota yang ketempatan
Rekso Kadang berasal dari tingkat ekonomi menengah kebawah, konsumsi yang harus
disiapkan sampai “dianak-anake” atau diupayakan ada sebagus mungkin.
Keempat, acara tausiah
keagamaan. Tausiah keagamaan menjadi menarik tatkala anggota Rekso Kadang
berasal dari agama yang berbeda-beda, meskipun memang dalam satu Rekso Kadang
terkadang juga diketemukan terdiri dari satu agama yang sama. Tausiah keagamaan
diberikan dengan mempertimbangkan anggota Rekso Kadang yang berbeda agama,
sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang sifatnya umum dan tidak menyinggung
agama lain. Fakta ini merupakan cerminan dari pembentukan karakter religius, toleransi
agama, dan saling menghargai perbedaan.
Kelima, acara wejangan
atau nasihat dari pihak kasepuhan (anggota senior). Wejangan merupakan
menyampaian nasihat atau pesan dari sesepuh anggota Rekso Kadang
terhadap semua anggota. Materi yang disampaikan biasanya berkenaan dengan
situasi terkini, seperti isu agama, ekonomi, politik, pendidikan, pekerjaan,
bahkan mengenai kejahatan yang sedang marak terjadi agar supaya tidak menimpa
anggota Rekso Kadang lainnya. Wejangan ini mampu menumbuhkan karakter
rasa ingin tahu bagi anggota Rekso Kadang.
Keenam, iuran dana
sosial. Dana yang sudah terkumpul disalurkan khususnya kepada anggota Rekso
Kadang yang sedang tertimpa musibah dan masyarakat lain pada umumnya seperti
bencana alam di Aceh, Yogyakarta, Lombok, dan lain sebagainya. Kegiatan ini
tentunya mampu membentuk karakter peduli sosial.
Ketujuh, doa bagi leluhur
atau tahlilan. Acara ini menjadi wujud bakti anggota Rekso Kadang kepada
para sesepuh atau leluhur. Doa yang dipanjatkan merupakan cerminan dari
pembentukan karakter berbakti kepada orang tua.
Sekian banyak karakter yang dihasilkan dari tradisi Rekso Kadang ini,
tentunya mampu meneguhkan tradisi ini menjadi basis pendidikan karakter khususnya
bagi masyarakat Jawa. Apabila semua keluarga di
Indonesia bisa menyelenggarakan Rekso Kadang ataupun acara sejenis ini, maka
niscaya pendidikan karakter akan terlaksana sampai pada semua lini kehidupan
masyarakat Indonesia.
Namun sungguh sangat disayangkan, arus
modernisasi saat ini nampaknya sudah membawa kaum milenial di Indonesia ke
jurang egocentris yang cenderung menafikan agenda kumpul keluarga besar
seperti Rekso Kadang. Di tengah arus deras modernisasi ini, mungkinkah tradisi
lama seperti Rekso Kadang ini masih akan terus terlaksana dan dikembangkan,
apalagi untuk sampai menjadi basis pendidikan karakter bagi masyarakat
Indonesia?
Meskipun tantangan sangat berat, apapun yang terjadi, tradisi seperti
Rekso Kadang sebagai wujud kebudayaan masyarakat Indonesia agaknya memang bisa menjadi
senjata ampuh dalam membentuk karakter anak bangsa melalui penjagaan berbasis
keluarga. Kunci keberhasilan ini berada pada tekat bangsa
ini untuk senantiasa bisa berusaha mempersandingkan antara kebudayaan dengan
pendidikan secara beriringan, seperti halnya usaha menjadikan tradisi Rekso
Kadang sebagai basis pendidikan karakter masyarakat.
Posting Komentar