![]() |
Ilustrasi |
Oleh Fitra Gusti Wijaya
Mahasiswa
Prodi PBA STITMA Yogyakarta
Rapor
adalah kitab sakral?
Di
sekolah-sekolah dalam enam bulan sekali dan setahun sekali biasa
diselenggarakan acara rutin, yaitu pembagian
rapor. Setiap pembagian rapor, para orangtua merasa deg-degan dengan nilai
hasil rapor anaknya, mengharapkan nilai hasil ujian anak-anaknya bagus, apalagi
matematika, IPA dan Bahasa Indonesia. Nilai Rapor menjadi sesuatu Yang sakral
sebagai acuan berhasil tidaknya anak mereka didalam belajar disekolah. ( Munif Chatib, Sekolah Anak-Anak Juara)
Padahal
nilai tersebut hanya berisi tentang kemampuan kognetif anak saja. Begitu juga sebagian
besar guru, mereka para guru kebanyakan
hanya mementingkan hasil dari ujian tulis Yang merupakan evaluasi kognitif
belaka.
Kemampuan
afektif dan psikomotorik peserta didik dipandang sebelah mata!?
Disamping
kemampuan kognetif, ada juga kemampuan
afektif (empati/akhlak)dan kemampuan psikomotor (pembiasaan/karya) bagi sang
anak, ketiganya saling terkait satu sama
lain.
Didalam
evaluasi ranah afektif peserta didik tidak terlalu diperhatikan, Lihatlah akhir
-akhir ini, banyak anak-anak menjadi pecandu narkoba, melakukan sex bebas,
tidak menghormati orangtuanya bahkan ada yang memukul orangtuanya sendiri, wal
'iyadzubillah.
Apalagi
disekolah-sekolah umum, waktu yang
disediakan untuk pelajaran agamapun hanya dua jam pelajaran dengan muatan
materi yang begitu padat.
Materi
pendidikan agama Islam, termasuk bahan ajar aqidah dan akhlak, lebih terfokus
pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim dalam pembentukan sikap
(afektif) serta pembiasaan (psikomotorik).
Kendala
lain adalah kurangnya keikutsertaan guru mata pelajaran lain dalam
memberi motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekkan nilai-nilai
pendidikan agama dalam kehidupan sehari-hari. Lalu lemahnya sumber daya guru
dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif, minimnya berbagai
sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya peran serta orang tua siswa”.
Hasan
yang pemalas tetapi ahli memperbaiki mesin yang rusak...
Didalam
buku Munif Chatib: Sekolah Anak-Anak Juara, dikisahkan seorang anak bernama
hasan, ia tak tertarik dengan pelajaran yang disampaikan guru, iapun divonis sebagai
anak pemalas, ia sering bolos dan tidak
menyukai hampir seluruh mata pelajaran Yang diberikan disekolah. Ia dikenal
murid yang paling malas diantara siswa pemalas lainnya.
Akan
tetapi ia mempunyai kelebihan memperbaiki alat-alat listrik dipesantren yang
rusak, seperti instalasi listrik Yang padam,
mesin penyedot air Yang rusak, mesin
rumput yang ngadat, bahkan mesin rontgen klinik yang ada dipesantren.
Disaat
hasan tidak ada dipesantren ia merupakan sosok yang sangat dirindukan ketika
ada masalah pada mesin-mesin tersebut. Karena tak ada yang mampu memperbaiki
mesin-mesin tersrbut disaat rusak kecuali hasan.
Kemampuan
hasan dalam bidang perbaikan mesin -mesin yang rusak tersebut sangat berbanding
terbalik dengan kemampuan hasan pada semua teori pelajaran.
Saat
lulus SMA nilai-nilai tes kognetif hasan pada semua bidang studi rendah, namun keterampilan elektronik dan mesin yang
dimiliki hasan membuat dia diterima bekerja sebagai teknisi diklinik kesehatan. Hasan telah menunjukkan kemampuan
kecerdasannya pada bidang pekerjaannya Yang sangat ia sukai.
Demikianlah
hendaknya seorang peserta didik itu bukan hanya dievaluasi kemampuan kognetifnya semata, akan tetapi, evaluasi afektif dan evaluasi
psikomotorpun hendaknya diperhatikan juga,
karena ketiganya mempunyai keterikatan satu sama lain. Agar tercipta
insan kamil yang diharapkan bagi orangtua,
masyarakat, agama, bangsa dan negara.
Posting Komentar