Anak Merapi
sahabatanak.org
Oleh
Umie Wahidatun Thohiriyah
Nama
lengkapku Haris Ramadhan. Umurku 11 tahun dan saat ini duduk di bangku kelas 5
SD. Orang tuaku bekerja sebagai petani. Mereka bekerja di sawah setiap hari.
Meskipun orang tuaku seorang petani, aku bangga kepada mereka. Sepulang
sekolah, aku selalu membantu pekerjaan mereka di sawah.
Aku
tinggal Bersama keluargaku di sebuah desa yang memiliki berbagai macam
keindahan alam. Aku sering mengagumi keindahan alam tersebut. Saat kecil aku
belum tahu nama berbagai macam keindahan alam yang ada di desaku.
“Ayah…
itu apa?” tanyaku penasaran sambal menunjuk sebuah gundukan besar menjulang
tinggi. Gundukan itu terbentang luas di hadapanku.
“Oh…itu
Namanya Gunung Merapi, Haris…” jawab ayah.
Aku
yang masih penasaran dengan jawaban ayah yang singkat itu. Aku pun kembali
bertanya.
“Mengapa
disebut Gunung Merapi dan mengapa ada di daerah kita, ayah?” tanyaku lagi penuh
semangat.
“Gundukan
itu disebut Gunung Merapi karena gunung itu masih aktif dan dapat mengeluarkan
lahar kapan pun. Gundukan itu memang sudah ada sebelum ayah lahir. Ayah juga
tidak tahu pasti mengapa gunung itu ada di daerah kita. Ayah hanya tahu kalua
gunung itu banyak memberikan manfaat bagi manusia.
Buktinya,
ayah dapat mengolah tanah di sini menghasilkan dan mampu mencukupi kebutuhan
kita sehari-hari,” jelas ayah panjang lebar. Meskipun demikian, aku masih belum
puas dengan jawaban ayah.
Aku
menilai bahwa jawaban ayah hanya sekedarnya saja. Ayah mungkin masih Lelah
pulang dari sawah. Jadi, jawabannya belum membuatku puas.
Sejak
pembicaraan sore itu, aku tidak lagi mempermasalahkan kenapa dan mengapa di
daerahku terdapat gundukan tanah yang menjulang tinggi itu. Aku juga tetep
tidak tahu dengan jelas alas an ayah menyebut gundukan itu dengan nama Gunung
Merapi.
Bagiku
sudah cukup Bahagia dapat berada di tengah-tengah keluarga yang menyayangi. Untuk hal-hal lainnya biar orang dewasa yang mengurus.
Aku tinggal bersama kedua orang tua dan kedua saudaraku yang bernama Kak Hamzah
dan Kak Hani, aku anak bungsu.
Sampai sekarang pun aku tak memikirkan alasan
kedua orang tuaku tinggal di desa terpencil seperti ini. Hal tersebut tidak
menjadi masalah besar bagiku. Menurutku tinggal di desa sangatlah menyenangkan
lingkungan desa sangat nyaman dan damai.
Sampai sekarang, aku hanya bisa melihat
sesuatu yang disebut kereta dan sesuatu yang disebut gedung bertingkat hanya
melalui tayangan televisi saja. Aku belum pernah ke kota, jadi belum pernah melihat
secara langsung benda-benda tersebut. Minimal aku sudah memiliki gambaran
tentang apa yang sering ibu dan bapak guru ceritakan tentang keberadaan kota
dan kehidupan di kota. Aku ingin sekali melihat kehidupan kota seperti yang
diceritakan oleh teman dan guruku. Namun, bagiku hal yang terpenting sekarang
hanyalah menjadi anak yang bisa diandalkan kedua orang tuaku.
Kedua kakakku yang sudah merantau keluar
daerah membuat posisiku seperti anak tunggal di rumah. Aku selalu tersenyum
lebar saat aku sedang membantu kedua orang tuaku menggarap sawah. Aku tidak
pernah mengeluh sedikit pun. Tak ada beban meskipun aku tidak bisa bermain
leluasa seperti anak sebayaku.
Terkadang masih sangat lekat dalam ingatanku
akan keceriaan yang tercipta saat kedua kakakku masih tinggal bersama. Aku
masih bisa bermanja-manja ria. Terkadang keceriaan itu masih terbawa dalam
mimpi saat aku tertidur lelap.
“Haris...Haris...sayang kemari Kak Hani
bawakan sesuatu untukmu”
Begitulah Kak Hani sering memanggilku. Saat
ia pulang ke rumah, pastilah ia membawakan aku sesuatu yang bisa membuat hatiku
senang. Seketika itu, aku langsung berhamburan lari menghampiri Kak Hani.
Dengan sedikit manja Kak Hani membelai halus rambutku lalu bercerita apa saja
yang bisa membuatku senang untuk kesekian kalinya.
Kakakku yang paling besar bernama Kak Hamzah.
Meskipun ia jarang bercanda denganku, namun aku tahu rasa sayangnya begitu
besar kepadaku. Kak Hamzah jaujh beda dengan Kak Hani hanya saja Kak Hamzah
orangnya lebih tegas, mirip sekali dengan Ayah. Dulu sering kali aku
digendongnya sepulang sekolah melewati pematangan sawah yang terhampar hijau
membentang. Sesekali ia bercerita. Ia pernah bercerita tentang keinginannya untuk
merantau ke kota mencari uang agar bisa membelikan aku mainan. Ia juga ingin
ayah tak lagi bekerja keras membanting tulang untuk keluarga.
“Kak Hamzah mau ke mana?” tangisku saat itu.
“Kakak tidak mau kemana-mana, tidak usah
menangis jaga ayah dan ibu baik-baik ya...” jawabnya sambil mengelus lembut
rambutku
“Terus kenapa kakak membawa tas ransel begitu
besar, seperti orang mau pergi jauh?” tanyaku lagi seraya memghapus air mata
yang sesekali masih menetes.
“Iya, Kak Hamzah memang mau pergi jauh tapi
nanti juga kembali kok! Haris jaga ayah ibu ya. Jangan sering menyusahkan
mereka,” sambil mengedipkan satu mata ke arahku.
Percakapan itulah yang aku ingat saat Kak
Hamzah akan pergi merantau. Kak Hamzah sudah bekerja merantau ke luar daerah
dan tinggallah aku ayah dan ibu yang berkumpul di halaman yang tak begitu luas
namun tetap menjadi tempat menyenangkan kami untuk berbincang ringan bahkan
bercanda bersama.
Aku bertempat tinggal di Desa Krinjing,
Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang yang terletak di lereng Gunung Merapi.
Kondisi deaku sangat berpotensi rawan bencana.
Seperti daerah pegunungan lainnya, desa
tempat tinggalku bergelombang dan berbukit-bukit. Oleh karena itu, tak heran
jika kedua orang tuaku berprofesi sebagai petani yang mengolah tanah di sekitar
gunung.
Suatu sore, Pak Lurah datang ke rumahku. Pria
separuh baya itu mencari ayah. “Sore, Haris... Ayahmu ada di rumah?” tanyanya
ramah kepadaku.
“Oh....Ayah masih di sawah, Pak,”jawabku.
“Memang ada keperluan apa, Pak?” lanjutku.
“Kalau sangat mendesak saya panggilkan ibu
saja ya...”kataku.
Pak Lurah pasti memiliki urusan yang sangat
penting dengan ayah. Beliau tidak biasanya mencari ayah seperti ini.
“Wah...memang anak Pak Hadi yang satu ini
sangat cakap ya!”ujar laki-laki itu sambil tertawa terbahak-bahak.
“Bapak ini bagaimana...?” dengan nada heran
kataku dan mulai berpikir kalau laki-laki yang sering disebut Pak Lurah itu
ternyata bisa tertawa begitu kerasnya.
“Begini Nak...besok katakan kepada ayahmu
kalau ada pertemuan di balai desa untuk membicarakan sesuatu.”
“Sesuatu apa itu Pak? Apa Hris boleh tahu?”
“Oh...sesuatu itu tidak terlalu penting.”
“Tapi kenapa Bapak sendiri yang menyampaikan
undangan itu? Tidak menyuuh Pak Agus saja seperti biasanya?”tukasku lagi.
“Iya...Nak...memang biasanya Pak Agus yang
mengantarkan undangannya tapi hanya saja memang tadi kebetulan Bapak lewat
depan rumahmu. Jadi, undangan untuk ayahmu sekalian saja Bapak sampaikan
sendiri.”
“O...begitu ya...nanti saya sampaikan pesan
Bapak.”
Laki-laki separuh baya tersebut kemudian berpamitan
dan mengucapkan salam. Aku masih berdiri dengan segudang pertanyaan yang ada di
kepalaku. Tiba-tiba kecemasan muncul dihatiku. Sepertinya akan ada sesuatu yang
terjadi, tapi apa? Aku tidak tahu.
Lembayung merah mulai tampak dari ufuk barat
pertanda aku harus segera masuk ke rumah dan menyambut ayah pulang dai sawah.
Sesaat kemudian ayah nampak berjalan dari arah timur dan setibanya ayah di
rumah aku langsung menghampiri dan menyampaikan undangan dari Pak Lurah tadi.
“Yah...tadi Pak Lurah ke sinj. Beliau
menyampaikan undangan untuk pertemuan besok di balai desa.”
“Ya....hanya itu pesan beliau agar ayah
menghadiri pertemuan besok.”
“Baiklah besok Ayah ke sana. O...iya Haris,
tolong ambilkan teh yang sudah disiapkan Ibumu ke sini. Ayah haus.”
“Iya, Yah.”
Keesokan harinya penduduk sudah berkumpul di
balai desa. Mereka sengaja diundang oleh Pak Lurah karena ada sesuatu yang
ingin dibahas bersama-sama. Rencananya akan diadakan upacara sesaji untuk
keselamatan warga desa ini. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara rutin pada
tahun-tahun sebelumnya.
Apalagi untuk tahun ini, sepertinya upacara
tersebut harus diadakan lebih awal. Hal ini dikarenakan adanya pertanda yang
kurang baik dari gaunung yang berdekatan dengan desa tempat kami tinggal tersebut.
Adakalanya terasa seperti gempa namun sesekali saja.
Tahun 2011 mungkin membawa semangat baru
dalam kehidupan warga sekitar Gunung Merapi Jawa Tengah, terutama keluarga kami
setelah terjadinya letusan Merapi ditahun 2010 tepatnya 26 Oktober 2010
mengakibatkan sekitarnya 353 orang tewas, termasuk Mbah Maridjan. Aku
beranggapan bahwa Tuhan memberikan anugerah kepada kami semua.
Malam itu cuacanya di luar cukup dingin. Aku
brsiap untuk tidur aku pun berdoa sebelum tidur.aku sandarkankepalaku di atas
sebuah bantal. Mataku belum sepenuhnya terpejam. Ku coba mengingat-ingat
berbagai kejadian yang pernah terjadi dalam keluargaku. Semua itu membuatku
lebih mensyukuri arti sebuah kehidupan yang dulu tak pernah ku hiraukan
sebelumnya.
Menurutku hidup ini tak dapat terlepas dari
ujian. Kedatangnganya tak dapat diduga sebelumnya. Semua menunjukkan kebesaran
dan kekuasaan Tuhan yang tiada bandinganya di alam semesta ini.
Tuhan Maha Kuasa, hanya kepada-Nya kita
kembali. Bencana yang datang selalu membawa tiga kemungkinan. Pertama, muncul
pesan didalamnya. Kedua, musibah datang sebagai cobaan. Ketiga, musibah datang
sebagai pembawa peringatan atau hukuman.
Musibah yang dialami oleh keluargaku juga
dialami oleh banyak orang yang bermukim di sekitar lereng Gunung Merapi. Gunung
Merapi yang terletak pada perbatasan 4 daerah di Jawa Tengah yaitu Semarang
(utara), Kedu (Barat), Yogyakarta (Selatan) dan Surakarta (Timur), mempunyai
ketinggian (±) 2968 m DPAL (Dari Permukaan Air Laut).
Gunung tersebut merupakan salah satu dari 129 gunung aapi yang masih aktif di
Indonesia.
-Penulis
adalah seorang mahasiswa dari Universitas Ngudi Waluyo Ungaran, dengan Program
Studi
Pendidikan
Guru Dekolah Dasar, Fakultas Ilmu Komputer dan Pendidikan. Saat ini sedang
menempuh semester 1.